Di tengah hiruk pikuk “reformasi”, satu di antara
banyak peristiwa, adalah menggelembungnya isu Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri
ini.
Awan hitam kelam menyelimuti persada. Suasana
karut-marut mewarnai sudut-sudut kehidupan anak negeri. Rasa aman seakan menjadi
komoditas yang sulit dijangkau. Seakan sirna kenyamanan dan rasa tenang hidup
di bumi nyiur melambai. Demonstrasi, kerusuhan, penjarahan, pembantaian
manusia, hiruk pikuk memenuhi etalase kehidupan. Para penegak hukum tak mampu
lagi menampakkan gigi taringnya. Berbagai kerusuhan bagaikan gelombang yang
susul menyusul, sementara aparat ragu untuk bertindak. Keraguan ini cukup lama
bergayut di dada para prajurit, hingga melambankan gerak menyapu para pelaku
keonaran. Satu di antara sebab yang melambankan gerak pihak berwajib, tumbuhnya
rasa takut terjerat jaring-jaring HAM. Tak mengherankan bila saat itu para
prajurit dibekali buku saku yang berisi apa saja yang boleh dan tidak boleh
dilakukan sesuai HAM.
Apa itu HAM? Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, HAM didefinisikan sebagai berikut: “Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Kala itu, HAM bak monster yang menakutkan pihak
aparat. Dalam skenario global, HAM menjadi alat yang langsung atau pun tidak,
turut melemahkan kewibawaan pemerintah. Isu HAM terus dipompakan hingga
target-target yang bersifat politis bisa digapai oleh elite politik tertentu.
Selain tentunya, bagi pihak asing merupakan kesempatan emas untuk melakukan
neo-kolonialisme (penjajahan model baru) melalui penetrasi budaya, yaitu
menularkan budaya atau paham-paham sekular. Inti dari pemahaman ini berupaya
menjauhkan umat Islam dari agamanya, dan lebih memfokuskan pada masalah dunia
serta nilai-nilai yang tidak bersumber dari Islam.
Bila menilik sejarah, sesungguhnya keadaan umat Islam
di Indonesia nyaris tidak lepas dari dominasi dan eksploitasi Barat. Proses
sejarah menunjukkan bahwa setelah kolonialisme, yaitu penjajahan bersifat fisik
berakhir, dunia Islam menghadapi masa neo-kolonialisme. Penjajahan pada fase
neo-kolonialisme ini tidak lagi bersifat fisik, tetapi sudah dalam bentuk
penjajahan nilai, ideologi, atau paham. Fase inilah terjadinya ghazwu al-fikr
(perang pemikiran). Walaupun secara fisik negara-negara tempat kaum muslimin
tinggal telah merdeka, namun tekanan budaya Barat senantiasa dijejalkan kepada
kaum muslimin. Sehingga, akibat penetrasi budaya, ideologi, dan pemahaman
tersebut, berubahlah cara pandang, cara berpikir, tingkah laku, bahkan i’tiqad
(keyakinan) sebagian kaum muslimin. Nas`alullaha as-salamah wal ‘afiyah (Kepada
Allah l-lah kita memohon keselamatan dan afiat).
Perubahan gaya hidup dengan meniru kaum kafir tersebut
tentu saja melalui proses waktu. Secara bertahap namun terarah, proses tersebut
terus bergulir hingga seseorang lantas mengikuti gaya hidup orang kafir.
Rasulullah n telah memperingatkan perihal ini. Berdasar hadits dari Abu
Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا حُجْرَ ضَبٍّ
لَسَلَكْتُمُوهُ. قَالُوا: الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ
“Sungguh kamu akan mengikuti cara-cara orang-orang
sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga seandainya
mereka berjalan (masuk) lubang dhabb (sejenis biawak), niscaya kamu pun akan
berjalan ke lubang tersebut.” Para sahabat bertanya: “(Apakah yang dimaksud)
Yahudi dan Nashara?” Jawab Rasulullah n: “Siapa lagi?” (HR. Ahmad, dishahihkan
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir
wa Ziyadah, no. 5063)
Seiring arus globalisasi, gerakan neo-kolonialisme pun
semakin mendapat celah untuk terus menerjang batas-batas negara. Karena,
globalisasi itu sendiri dimaknai sebagai proses integrasi (penyatuan) ideologi,
paham, nilai budaya ‘penjajah’ terhadap yang ‘dijajah’. Sehingga ideologi,
paham, nilai budaya ‘penjajah’ terserap dan menyatu dalam kehidupan masyarakat
yang ‘dijajah’. Inilah hakikat globalisasi terkait dengan gerakan
neo-kolonialisme. Pemberian beasiswa untuk mempelajari Islam ke McGill
University, Montreal, Kanada atau ke Chicago University, Amerika Serikat adalah
bagian kecil dari program neo-kolonialisme. Menghadirkan para selebriti Barat
ke negeri-negeri kaum muslimin juga merupakan bagian neo-kolonialisme. Dengan
neo-kolonialisme, Barat melakukan hegemoni, yakni melakukan dominasi pemikiran,
cara pandang, ideologi, pemahaman, dan budaya, hingga terbentuk sikap mental:
“Kalau tidak dari Barat, tidak modern,” atau “Kalau tidak dari Barat, tidak
keren.”
Dalam ranah sosial politik, demokratisasi merupakan
sistem nilai dan ideologi yang ditanamkan ke negeri-negeri kaum muslimin.
Demokrasi sebagai produk kebudayaan dan filsafat Barat melalui proses penetrasi
yang kuat telah cukup membawa hasil yang ‘memuaskan’. Cap ‘tidak demokratis’
adalah sesuatu yang tidak disukai oleh kalangan pemerintahan di sebagian
negara-negara muslim. Ini memberi sinyal bahwa demokrasi sebagai sebuah sistem
ideologi telah berhasil ditanam.
Bagaimana dengan ajaran Hak Asasi Manusia? Nyaris tak
jauh beda. Saat memberi Kata Pengantar, M.M. Billah, seorang pegiat HAM,
menyatakan bahwa fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri menunjukkan bahwa
ajaran hak asasi manusia merupakan produk kebudayaan dan filsafat Barat dalam
masa Pencerahan di abad ke-18, ketika para ahli filsafat masa itu berupaya
mencari landasan kebenaran moral dan keagamaan di dalam sifat-sifat manusia,
dan mengembangkan satu agama serta moralitas yang ‘alamiah’. Tetapi konsepsi
tentang sifat manusia dan kebebasan manusia yang muncul pada kenyataannya amat
menyatu dengan tradisi budaya yang memunculkannya, yakni kebudayaan dan
filsafat Barat itu sendiri. (Agama dan Hak Asasi Manusia, John Kelsay dan
Sumner B. Twiss)
Bukti bahwa ajaran hak asasi manusia ini tidak bisa
lepas dari kebudayaan dan filsafat Barat bisa ditelusuri dari berbagai
deklarasi yang melatarinya. Magna Charta (1215) dianggap sebagai dokumen
sejarah yang menggagas hak asasi manusia. Magna Charta berisi prinsip-prinsip
trial by jury (peradilan oleh juri), habeas corpus (surat perintah penahanan),
dan pengawasan parlemen atas pajak. Walaupun hanya berisi prinsip-prinsip di
atas, oleh beberapa kalangan, Magna Charta tetap dijadikan monumen bagi
lahirnya gagasan-gagasan hak asasi manusia berikutnya. Di Inggris tumbuh
gagasan melalui Petition of Rights (1628) dan Bill of Rights (1689). Di Amerika
dengan Declaration of Independence (1776). Di Perancis, setelah Revolusi
Perancis, lahir apa yang disebut dengan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan
Warganegara (Declaration des Droit de l’home et du Citoyen, 1789). Hingga
akhirnya semua gagasan yang berkembang dirumuskan menjadi sebuah deklarasi.
Lahirlah kemudian Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948.
Deklarasi inilah yang kemudian disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sebagai dasar pemberlakuan hak asasi manusia di seluruh dunia. Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang berisi 30 pasal tersebut secara resmi diterima
Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Melalui Undang-Undang No. 39 Tahun
1999, Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi (mengesahkan) sebagai
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagai produk kebudayaan dan filsafat Barat, ajaran
hak asasi manusia tentu saja tidak bebas dari kritik. Pengejawantahan hak-hak
asasi manusia dalam kehidupan beragama di Barat (khususnya Perancis) justru
buruk sekali. Larangan terhadap muslimah untuk mengenakan busana yang sesuai
syariat ternyata tetap berlaku. Ini menunjukkan bahwa pemerintahan setempat
belum bersungguh-sungguh memberikan hak yang bersifat asasi kepada kaum
muslimin. Begitu pula yang terjadi di Amerika Serikat. Pasca peristiwa 11
September 2001 dengan hancurnya gedung WTC, pemerintah Amerika berlebihan,
bahkan tidak patut dalam menyikapi warga muslim, terutama yang berasal dari
warga asing. Apakah karena kemuslimannya lantas seseorang diperlakukan tidak
patut di negara yang konon katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia?
Salah Satu Contoh Pelanggaran
HAM :
Kewenangan Pengadilan HAM pada
Kasus Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Lapas Cebongan
Pembentukan
Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk
Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM berkedudukan
di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
PERKARA YANG
DIPERIKSA OLEH PENGADILAN HAM
Pengadilan Ham berkompeten untuk melakukan pemeriksaan
terhadap perkara terjadinya kejahatan ham berat berupa kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (Vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan HAM). Untuk kasus terjadinya pembantaian di Laps Cebongan
merupakan suatu peristiwa yang tergolong pada kejahatan terhadap kemanusiaan
(Vide Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM). Adapun
bunyi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM sebagai
berikut :
Kejahatan
terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa :
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asa) ketentuan pokok hukum intemasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual
lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya,
agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid
KRONOLOGIS
PEMBANTAIAN DI LAPAS CEBONGAN
Sindonews.com
-
Penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta berawal
ketika mantan kopassus yang bernama Sertu Sriyono yang notebene rekan
seangkatan dari pelaku, mengalami pembacokan oleh korban Lapas 2B Cebongan,
Sleman Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan Sriyono tersungkur dan tewas di tempat
kejadian.
Mengetahui rekan seangkatannya tewas di tangan korban Lapas 2B Cebongan,
sebelas rekan seangkatan Sriyono langsung menyimpan dendam terhadap empat orang
yang mengeksekusi Sriyono di tempat kejadian.
Selanjutnya, rekan-rekan Sriyono yang tergabung dalam grup 2 kopassus, seusai
latihan dari Gunung Lawu, langsung mendatangi Lapas Cebongan. "Mereka
adalah anggota kopassus, jadi sangat mudah untuk menemukan lapas, dimana pelaku
yang menewaskan rekan seangkatannya" ujar Ketua TIM Investigasi, Wakil
Komandan Pusat Polisi Militer, Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono saat konferensi
Pers di Kartika Media Center, Jakarta Pusat (4/4/2013).
Dengan bersenjatakan enam pucuk senjata, jenis senjata AK 47 berjumlah tiga buah
yang dibawa dari tempat latihan, dan tiga pucuk senjata lainnya adalah replika
AK 47 dan pistol.
Kemudian, Ketua TIM Investigasi, Wakil Komandan Pusat Polisi Militer, Brigjen
TNI Unggul K Yudhoyono mengungkapkan, bahwa datangnya kesebelas rekan seangkatan
Sriyono menggunakan dua unit kendaraan, yaitu satu unit mobil Avanza berwarna
biru dan satu lagi menggunakan kendaraan APV berwarna hitam.
Lalu terdapat satu kendaraan lagi yaitu mobil feroza yang diisi oleh dua orang
kopassus untuk mencegah kejadian tersebut, namun tidak berhasil untuk dicegah.
Setelah sampainya di lapas cebongan, grup dua kopassus tersebut langsung
mendatangi petugas piket yang berjaga disana. Saat ditodongkan senjata AK 47,
akhirnya petugas lapas membuka pintu lapas dan menunjukkan ruang tahanan
tersebut.
Saat dimintai keterangan terkait dengan CCTV lapas, Brigjen TNI Unggul K
Yudhoyono menjelaskan gerakan kopassus itu sudah seperti ninja, karena mereka
memang sudah dilatih untuk cepat dan tidak terdeteksi.
KEWENANGAN FORMIL PENYELIDIKAN KASUS
Peristiwa pembantaian tersebut
merupakan suatu kejahatan yang bersifat sistematis karena dimungkinkan ada
suatu perencanaan yang ditunjukan oleh adanya fakta hukum terdapat dua orang
oknum TNI AD yang berusaha melarang teman-temannya untuk melakukan pembantaian
tersebut. Dengan adanya pelarangan ini, maka kegiatan pembantaian tahanan
tersebut merupakan suatu kegiatan yang sudah direncanakan sedemikian rupa
sehingga adanya persiapan berupa pembagian tugas seperti :
- adanya persiapan untuk memalsukan surat perintah tugas dengan membuat surat
yang seolah-olah berasal dari Polda Jogyakarta.
- adanya persiapan senjata yang digunakan, karena senjata dan peluru dapat
dipergunakan hanya dalam pelaksanaan tugas, bukan digunakan di luar tugas dan apabila
senjata tersebut tidak digunakan, maka senjata harus disimpan pada suatu gudang
senjata. Peluru pun demikian, setiap menggunakan peluru harus ada suatu
perintah dan setelah menggunakan peluru harus ada suatu pelaporan tentang
kegiatan apa yang sudah digunakan dan berapa banyak peluru yang digunakan.
- adanya perencanaan dalam pembagian tugas seperti adanya penunjukan seorang
eksekutor dan adanya penunjukan oknum anggota TNI AD yang melakukan penjagaan
dan adanya pembagian tugas dalam pengamanan terhadap CCTV.
- Adanya persiapan kendaraan, dimana kendaraan yang digunakan ini merupakan
salah satu alat kejahatan yang dipergunakan untuk memudahkan terjadinya suatu
kejahatan, sehingga kendaraan yang digunakan merupakan barang bukti dalam
kejahatan kemanusiaan ini.
- Adanya persiapan dalam penentuan waktu kegiatan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Dengan adanya pembagian tugas dan
persiapan sarana serta prasarana pendukung inilah merupakan suatu rangkaian
persiapan yang telah direncanakan dan sudah dipersiapkan secara sistematis.
Hanya saja dalam proses penyidikan juga masih banyak lagi yang harus dikerjakan
bukan hanya selesai pada suatu pengakuan. Masih banyak barang bukti dan
petunjuk yang harus diolah seperti bagaimana mekanisme komando dan
pengendalian, yang artinya perlu adanya pendalaman terhadap sistem pelaporan
dan sarana pelaporan agar dapat diungkap secara jelas kasusnya dan bukan hanya
setengah-setengah. Sehingga perlu dilakukan pendalaman terhadap alat komunikasi
yang digunakan oleh Oknum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini. Audit
terhadap alat komunikasi ini amat penting di dalam mengungkap jelas peristiwa
pidana yang terjadi.
Berdasarkan atas uraian di atas
maka Komnas Ham merupakan Leading sektor dalam melakukan suatu penyelidikan hal
ini disebabkankarena
KOMNAS HAM merupakan lembaga yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk
melakukan penyelidikan terhadap terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM yang berbunyi :
(1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
(2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam
melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim
ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur
masyarakat.
Dengan
memahami peran, tugas dan tanggung jawab Lembaga Komnas HAM untuk melakukan
kegiatan penyelidikan ini, maka sudah seharusnya Lembaga Komnas HAM melakukan
tindakan penyelidikan berupa : (Vide Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
a. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan
terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakatyang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti;
c. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak
yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya;
d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar
kesaksiannya;
e. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat
kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. memanggil pihak terkait untuk memberikan
keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai
dengan aslinya.
g. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan
berupa :
1) pemeriksaan surat;
2) penggeledahan dan penyitaan;
3) pemeriksaan setempat terhadap rumah,
pekarangan,
4) bangunan, dan tempat2 lainnya yang diduduki
atau dimiliki pihak tertentu;
5) mendatangkan
ahli dalam hubungan dengan penyelidikan
Selain itu Komnas Ham pun memiliki kewenangan untuk
pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan; penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi
manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti (Vide Pasal 89
ayat (4) huruf (c), (d) dan (e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM)
KEWENANGAN
PERADILAN SIPIL DAN HAM PADA KASUS CEBONGAN
Banyak tayangan di televisi yang menyatakan bahwa peristiwa
pembantaian di proses melalui Peradilan Militer bukan peradilan sipil. Pendapat
ini merupakan suatu pendapat yang keliru, seharusnya kompetensi kewenangan
mengadil berada pada kewenangan pengadilan sipil, sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 65 ayat (2) yang berbunyi :
“PRAJURIT TUNDUK KEPADA KEKUASAAN PERADILAN MILITER DALAM HAL
PELANGGARAN HUKUM PIDANA MILITER DAN TUNDUK PADA KEKUASAAN PERADILAN UMUM DALAM
HAL PELANGGARAN HUKUM PIDANA UMUM YANG DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG”.
Pada ketentuan KUHPM yang tidak mengatur adanya
ketentuan peristiwa terjadinya pembunuhan berencana, adapun peristiwa pidana
militer yang diatur pada KUHPM berupa :
a.KEJAHATAN
TERHADAP KEAMANAN NEGARA
b.KEJAHATAN
DALAM MELAKSANAKAN KEWAJIBAN PERANG, TANPA BERMAKSUD UNTUK MEMBERI BANTUAN
KEPADA MUSUH ATAU MERUGIKAN NEGARA UNTUK KEPENTINGAN MUSUH
c.KEJAHATAN
YANG MERUPAKAN SUATU CARA BAGI SESEORANG MILITER UNTUK
MENARIK DIRI DARI PELAKSANAAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DINAS.
d. KEJAHATAN
TERHADAP PENGABDIAN
e.KEJAHATAN
TENTANG PELBAGAI KEHARUSAN DINAS
f. PENCURIAN
DAN PENADAHAN
g.PERUSAKAN,
PEMBINASAAN ATAU PENGHILANGAN BARANG-BARANG KEPERLUAN ANGKATAN PERANG
Untuk itu karena ketentuan hukum acaranya sudah sangat
jelas maka terhadap seluruh pelaku pembantaian di Lapas Cebongan sudah amat
patut di proses melalui Peradilan sipil bukan peradilan militer yaitu diproses
melalui HUKUM PIDANA SIPIL (Vide Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Junto Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI) atau di
Proses Melalui Peradilan HAM (Vide Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
PERADILAN HAM), karena ketentuan peradilan sipil amatlah jelas sudah diatur
dalm KUHAP, jadi tidaklah perlu adanya suatu persepsi dan atau debat table yang
menyatakan belum ada ketentuan hukumnya oknum anggota TNI di Proses melalui
Peradilan Sipil dalam rangka penghormatan terhadap hukum sebagaimana sudah
diatur dalam ketentuan asas hukum EQUALITY
BEFORE THE LAW.
Proses hukum ini amatlah penting agar didapat suatu
efek penjeraan/ Deterence, supaya tidak terjadi perbuatan melawan hukum yang
dilakukan berulang yang disebabkan kurangnya efek penjeraan terhadap pelaku
tindak pidana.
Sumber :