Sabtu, 04 September 2010

rokok walaupun beracun tapi jangan diharamkan dulu



Apa pendapat Anda jika persatuan ulama menfatwakan halal susu bermelamin atau biskuit beracun selama tak terasa sakit? Maka diyakini, semua orang akan mengecam fatwa tersebut.


Hal yang sepadan saat ini tengah terjadi ketika MUI –sebagai wadah resmi ulama di bawah pemerintah- berencana menyampaikan fatwa sebagai jawaban atas permohonan ketua Komnas HAM Anak, Seto Mulyadi. Kontan segenap tokoh menentang rencana tersebut. Bahkan para petani tembakau di Jember, Jawa Timur, pada Jumat (15/8/2008) siang, berdemonstrasi menentang fatwa MUI tersebut (http://www.liputan6.com). Pasalnya, fatwa tersebut berisi pengharaman atas bahan konsumsi beracun yaitu rokok. Mengapa itu terjadi? beragam alasan mereka kemukakan, baik yang bersifat normative (berdasar pada dalil syar'i) maupun sosiologis.


Walaupun belum dikenal pada masa Nabi Muhammad, sahabat maupun tabi’in, masalah rokok tak dapat dikatakan baru dalam kehidupan kaum muslimin. Awal abad ke 10 H adalah era awal kaum muslimin bersentuhan dan menghisap rokok (syurb al-dukhan). Melalui karya ulama dapat kita saksikan bagaimana respon mereka sejak saat itu terhadap fenomena kegandrungan baru yang populer tersebut. Sepanjang penelusuran penulis, respon pertama adalah fatwa haram dari para ulama besar yang dikutip dan disetujui oleh sang murid yang juga ulama besar Abu Yahya Zakariya al-Anshari al-Syafi'i yang wafat pada 926 H (baca: al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah: I/143). Kemudian berikutnya muncul beberapa fatwa, baik yang mendukung maupun yang berbeda. Pendapat mereka terbagi dalam tiga kubu, mengharamkan, memakruhkan dan memubahkan. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: I/3522).


Kelompok yang membolehkan, beralasan dengan kaidah fikih, bahwa asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada bukti yang mengharamkannya. Faktor yang mengharamkan barang konsumsi ada dua hal yaitu memabukkan dan membahayakan kesehatan. Sayyid Sabiq menambahkan tiga hal lagi yaitu najis, terkena najis dan masih berstatus milik orang lain ( Fiqh al-Sunah: III/267).


Menurut mereka semua hal itu tidak terbukti pada rokok, sehingga hukumnya tetap halal. Andaipun ada yang terkena dampak negatif sebabnya, maka yang demikian bersifat relatif. Jangankan rokok, madu pun yang secara nash dikatakan mengobati, dapat pula berdampak negatif kepada sebagian orang. Pendapat ini didukung oleh beberapa ulama lintas madzhab, di antaranya yaitu Abd al-Ghani al-Nabulisi al-Hanafi (1062 H) yang terkenal dengan karangannya "al-Shulh Bain al-Ikhwan Fi Ibahat Syurb al-Dukhan". Ungkapan paling pedas disampaikan oleh al-Syaikh Ali Ibn Muhamad Ibn Abd al-Rahman al-Ajhuri (1066 H) dari madzhab maliki. Sebagaimana di kutip oleh Ahmad Ibn al-Shawi (1241 H) ia mengatakan: "Tidak mungkin orang yang berakal mengatakan bahwa rokok itu haram secara material, kecuali orang yang bodoh terhadap pendapat imam madzhab, congkak atau penentang" (Hasyiyah al-Shawi 'Ala al-Syarh al-Shaghir: I/74) Begitu pula Ibn 'Abidin (1252 H) dan al-Hamawi.. Untuk mengabadikan pendapatnya al-Ajhuri mengarang kitab "Ghayat al-Bayan li Hilli Syurb Ma La Yughayyib al-'Aql Min al-Dukhan". Sedangkan dari madzhab Syafi'i ada al-Hifni, al-Halabi dan al-Syubramilisi. Ditambah lagi dari kalangan ulama hanbali yaitu al-Syaukani dan al-Karami.


Adapun kelompok ulama yang memakruhkan adalah Ibn 'Abidin (yunior) al-Hanafi yang wafat pada tahun 1306 H, Yusuf al-Shaftiy al-Maliki (abad XII), al-Syarwani al-Syafi'i dan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H). Dasar pendapat mereka adalah pertama, yang jelas asap rokok menimbulkan bau busuk. Kedua, dalil ulama yang mengharamkan itu belum valid, alias belum dapat dipercaya secara penuh, hingga hanya sebatas menimbulkan keraguan (syakk). Sementara itu, ulama dahulu yang berpendapat haram antara lain seperti Zakariya al-Anshari al-Syafi'i, Abu al-Ikhlash Hasan Ibn 'Ammar al-Syaranbilali al-Hanafi (1069 H), Salim al-Sanhuri al-Maliki, Najm al-Din al-Ghazi al-Syafi'i, Ahmad Ibn Ahmad Ibn Salamah al-Qalyubi al-Syafi'i (1070 H) dan Shalih Ibn al-Hasan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H). Pada saat yang begitu jauh dari penelitian ilmiah modern, mereka seragam beralasan, bahwa rokok mengakibatkan terbukanya berbagai saluran dalam tubuh hingga potensial dimasuki materi yang berbahaya dan nyata pula, bahwa rokok mengakibatkan kepala pusing. (Hasyiyah al-Bujairami 'Ala al-Khathib: XIII/200, al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah: I/143, Hasiyah al-Qalyubi wa 'Umairah: I/341). Pendapat yang sangat keras disampaikan al-Bujairami al-Syafi'i (1221 H) sebagaimana dikutip oleh Syatha al-Bakri (1310 H). Ia berkata: "Adapun rokok yang ada saat ini yang juga disebut dengan al-tutun –semoga Allah melaknat orang memprakarsainya-, sesungguhnya itu termasuk hal baru (bid'ah) yang buruk". (I'anah al-Thalibin: II/260)


Sebagaimana disingung di atas, bahwa semua ulama sepakat dan tak satupun menolak, bahwa keharaman barang konsumsi tergantung pada keberadaan salah satu atau lebih pada lima faktor, yaitu memabukkan (muskir), membahayakan kesehatan (mudhirr), najis, terkena najis (mutanajjis) dan masih berstatus milik orang lain (milk al-ghair). Dan terbukti alasan kedua itulah (mudhirr, mengakibatkan madhrrat) yang menjadi stressing argumentasi ulama yang mengharamkan. Maka, bila dikaji dengan seksama tentang alasan kedua pendapat pertama di atas –yang membolehkan dan memakruhkan-, dapat dikatakan wajar bila keduanya menolak atau kurang percaya terhadap validitas argumen pendapat ke tiga. Hal itu dapat dipahami, sebab kendala utamanya terletak pada metode pembuktian dampak tersebut. Maklum, saat itu belum ada standar penelitian ilmiah serta metodenya yang disepakati, apalagi yang bersifat medis.


Akhirnya, argumentasi, bahwa rokok mengandung madharat (keburukan) dapat dengan ringan ditepis oleh orang yang tidak mempercayai, baik berdasarkan pengalaman pribadi maupun orang lain yang tidak tampak terkena dampak negatif rokok. Untuk mengurai masalah ini, hendaknya dikembalikan kepada petunjuk Allah. Sebagaimana diketahui Allah memerintahkan kita untuk bertanya setiap hal kepada orang yang berkompeten (ahl al-dzikr) dengan firmannya: "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan bila kalian tidak mengetahui". (QS. Al-Nahl: 43). Dalam masalah rokok, ada dua masalah yang memerlukan dua ahli yang berbeda. Terkait dengan materi dan zat yang terkandung di dalamnya serta dampaknya terhadap kesehatan manusia, maka itu adalah wilayah ahli kesehatan, dokter maupun paramedis lain. Pada sisi lain, secara hukum syar'i adalah bidang ahli fikih. Dan seperti diketahui hukum syar'i dalam masalah rokok ini tergantung pada hasil studi para ahli kesehatan tersebut.


ULAMA SEJATI

Pada era post modern milenium ketiga ini, di mana metode penelitian medis sangat mapan dan sarananya sangat canggih, bukti bahaya rokok hampir tak terbilang jumlahnya. Ketua Komnas Pengendalian Tembakau, Prof. F. A. Moeloek menjelaskan pada tahun 2005 ada sebanyak 70.000 artikel ilmiah di dunia yang menegaskan tentang bahaya rokok, baik dari segi kandungan materialnya maupun dampak riil yang telah terjadi akibat rokok. (http://www.depkes.go.id.3 Juni 2008) Sebagian hasil penelitian membuktikan bahwa rokok mengandung 4.000 jenis bahan kimia dengan 40 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker). Bila demikian, masihkah 70.000 hasil penelitian itu tetap akan ditolak demi melestarikan perbedaan pendapat kuno tersebut? Menolak berarti tak ubahnya bersikap lebih percaya pada kejahilan diri sendiri dari pada pengetahuan orang lain.


Bagi ulama sejati, tentu temuan itu disambut gembira, karena dapat menguak misteri bahaya rokok yang diperdebatkan ahli fikih sejak lima abad yang lalu. Dengan demikian penerapan dalil: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan". (QS. Al-Baqarah: 195) dapat dengan mantap diterapkan. Kaidah fikih "la dharara wala dhirara.” (tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain) tak terbantahkan lagi masuk dalam hukum rokok ini, sehingga hasilnya adalah haram. Kalaupun sebagian perokok merasa, bahwa rokok mengandung manfaat, bukankah firman Allah terkait dengan khamr dapat menjadi pelajaran. Allah berfirman: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi, katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (QS. Al-Baqarah : 219). Padahal jelas tak satupun penelitian membuktikan hal itu.


Bahkan, Muhammad Ibn Ahmad al-Dasuqi al-Maliki (1230 H), satu di antara ulama yang menghalakan rokok dua abad yang lalu berkata: "Dalam hal wakaf harus diarahkan pada sektor kebaikan dan ibadah. Oleh karena itu, wakaf untuk para perokok adalah batal, walaupun kami berpendapat merokok adalah boleh". (Hasyiyah al-Dasuqi 'Ala al-Syarh al-Kabir: XVI/210). Artinya walaupun boleh –sekali lagi saat itu- rokok sama sekali tidak mengandung manfaat dan kebaikan. Tentu keterangan ini semakin mengokohkan hukum haram di atas. Namun, kesimpulan hukum itu masih harus berhadapan dengan bantahan lain yang penting untuk dijawab yaitu bahwa dampak negatif tersebut tak dapat digeneralisir atau relatif. Sebagian orang terkena, tapi sebagian lain tidak. Konsekuensi hukum haram itupun tak dapat berlaku mutlak sebagaimana dikatakan Al-Ajhuri. Hal senada juga dikatakan Kiyai kharismatik Syekh Ihsan bin Syekh Muhammad Dahlan penerus Ponpes Jampes di Desa Putih Kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri dalam kitabnya Irsyadul Ihsan menurut penuturan Kiyai Idris Marzuki pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo (Surya, Jum'at, 15 Agustus 2008).


Untuk menjawab itu, sekali lagi harus dikembalikan kepada ahli kesehatan. Dari penelitian yang terungkap –sebagaimana diulas peneliti Puslit Bioteknologi -LIPI-, bahwa setiap perokok mesti terkena dampak negatifnya. Masalahnya, dampak tersebut tidak selalu dapat dirasa apalagi dalam waktu dekat. Walaupun demikian tak dapat ditolak, bahwa dampak tersebut bersifat pasti. Akhirnya hukum haram tersebut tetap berlaku secara mutlak.


Dalam kaitannya dengan fatwa MUI, tinggal satu keberatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang tidak setuju dengan fatwa tersebut, yaitu terkait dengan problem sosial ekonomi. Salah satunya disampaikan oleh Pengasuh Ponpes Tebuireng, KH Sholahuddin Wahid. Ia mengungkapkan: "Bisa dibayangkan, berapa ratus ribu orang akan kehilangan pekerjaan. Belum lagi pada lapisan masyarakat lainnya, seperti pedagang rokok dan petani tembakau yang akan kena dampaknya". (NU Online.. Jumat, 15 Agustus 2008 ). Lalu apa kaitannya dengan fatwa haram? Apakah diakui haram tetapi jangan dulu disampaikan kepada umat atau dengan pertimbangan sosial ekonomis tersebut hukumnya harus dirubah, jangan haram dulu?


Untuk yang pertama, sekalipun tampak logis, tetapi realitasnya belum pernah terjadi ada fatwa MUI yang langsung direspon positif dan dilaksanakan secara serentak oleh semua umat Islam Indonesia. Dalam sekup sempit, fatwa organisasi keagamaan untuk anggotanya sendiri saja tak bernasib sebaik itu. Lagi pula kapan masyarakat mengetahui hukum yang sebenarnya mengenai rokok, hingga mereka meninggalkannya atas dorongan iman, bukan karena paksaan undang-undang, padahal halal atau haram adalah urusan agama?

Hukum tetap dapat disosialisasikan, masalah meninggalkan -utamanya bagi pekerja- dan pemilik pabrik bisa berproses- sesuai dengan tingkat kedaruratan dan keimanan masing-masing. Pentahapan pemberitahuan hukum pada masa Nabi –untuk khamr, misalnya- tidak dapat disamakan dengan kasus rokok saat ini. Waktu itu pemberitahuan secara langsung akan keharaman khamr kepada masyarakat yang mayoritas suka khamr, akan berhadapan dengan ancaman yang lebih besar, berupa meninggalkan agama dan akidah baru mereka yaitu Islam. Jauh berbeda dengan kaum muslimin di negara Islam seperti Indonesia saat ini, ancaman itu jauh dari mungkin. Sebab Islam bukan lagi agama baru bagi masyarakat muslim di negara Islam saat ini. Sudah berabad-abad dan turun temurun Islam menjadi agama bangsa Indonesia dan negara Islam lainnya.


Adapun yang kedua, hukum mengenai keharaman barang konsumsi adalah mutlak tergantung ada atau tidaknya salah satu atau lebih dari lima faktor pengharam di atas, tak ada sangkut pautnya dengan fenomena sosial. Bila tidak, benarkah bila dikatakan: "Walaupun rokok itu beracun menurut ahli kesehatan sedunia, tapi jangan dulu dihukumi haram?" (Saya yakin tidak benar! (red))


Penulis lebih menaruh hormat ulama asal Rembang, Jawa Tengah, Mustofa Bisri atau Gus Mus -yang juga perokok- mengakui secara gentle mengatakan: "Merokok itu sudah kesalahan dari awal". Walaupun ia masih kurang setuju dengan rencana sosialisasi fatwa haram yang rencananya akan dirilis MUI akhir tahun ini. Akhirnya, semoga dengan kebeningan hati para ulama, obyektifitas dalam menilai kebenaran dan keberanian untuk menyampaikannya, umat ini dapat terbimbing memahami sekaligus melaksankan agamanya dengan baik. Selamat tinggal rokok, marhaban ya waratsat al-anbiya'!

Oleh: Abdul Kholiq, Lc. Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Agama (STAI) Lukmanul Hakim, PP Hidayatullah Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar